Minggu, 02 Desember 2018

Mengapa Pemimpin Hasil Dokrasi Harus Ditaati


Pemilu/Pilpres dan sistem demokrasi memang tidak sesuai dengan syariat baik secara dalil dan akal. Secara akal, suara satu orang profesor atau orang yang berlimu dan ahli disamakan dengan satu orang yang tidak tahu apa-apa atau orang tersebut bodoh.

Secara syari’at tidak sesuai juga, karena pemilihan pemimpin yang dianggap dalam Islam ada beberapa cara:

Dewan Syura (Ahlul Halli Wal ‘Aqdi), 
sebagaimana Umar bin Khathab meninggalkan 6 orang ahli syura
Tunjuk langsung, sebagaimana Abu Bakar ke Umar Radhiallahu’anhuma
Mughalabah, pemimpin di kalahkan oleh kelompok yang mengalahkan

Pemimpin Hasil Dari Demokrasi Tetap Harus Ditaati

Mungkin banyak yang bertanya-tanya mengapa ada yang berpendapat ikut serta pemilu tidak disyariatkan, tetapi jika ada presiden sudah terpilih lewat Pemilu/Pilpres malah diwajibkan untuk taat?

Jawabnya, siapapun yang terangkat menjadi pemimpin yang sah maka wajib ditaati walaupun caranya tidak sesuai syariat, misalnya cara ke 3 yaitu mughalabah, jika raja yang sah dikalahkan dan dikudeta, maka wajib mentaati yang baru.

Hadits berikut bisa memberi penjelasan. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda agar taat dan patuh kepada pemimpin walaupun seorang budak Habasyah yang hitam legam. Beliau bersabda,

عليكم بالسَّمعِ والطَّاعةِ وإن تأمَّرَ عليكم عبدٌ حبشِيٌّ

“Wajib bagi kalian untuk mendengar dan taat meskipun yang memerintah kalian adalah seorang budak Habasyah” 
[ HR. Ahmad 4/126, At-Tirmidzi no. 2676, Abu Dawud no. 4607, Ibnu Majah no. 42, dari ‘Irbadh bin Sariyah ]

Padahal syarat jadi pemimpin adalah merdeka, karena budak harus taat terhadap tuannya. Maka ketika ia menjadi pemimpin, ini jelas sudah tidak sesuai dengan syariat. 
Akan tetapi jika seandainya benar-benar jadi pemimpin, maka harus ditaati, karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda demikian. Jika saja budak yang melanggar syarat jadi pemimpin harus ditaati (dan budak menjadi pemimpin jelas tidak sesuai syariat), maka apalagi cara yang lain, seperti hasil demokrasi

Asy-Syinqithi rahimahullah berkata,

أَمَّا لَوْ تَغَلَّبَ عَبْدٌ حَقِيْقَةً بِالْقُوَّةِ فَإِنَّ طَاعَتَهُ تَجِبُ إِخْمَادًا لِلْفِتْنَةِ وَصَوْنًا لِلدِّمَاءِ مَا لَمْ يَأْمُرْ بِمَعْصِيَةٍ

“Jika seorang budak secara nyata berhasil menguasai secara paksa dengan kekuatannya, maka taat kepadanya adalah wajib dalam rangka memadamkan gejolak (kekacauan) dan menghindari pertumpahan darah, selama dia tidak memerintahkan kepada maksiat” 
[ Adhwa’ul Bayan, Asy-Syinqithi, 1/27].

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah, menukilkan perkataan Ibnu Baththal ,

وَقَدْ أَجْمَعَ الْفُقَهَاءُ عَلَى وُجُوبِ طَاعَةِ السُّلْطَانِ الْمُتَغَلِّبِ وَالْجِهَادِ مَعَهُ وَأَنَّ طَاعَتَهُ خَيْرٌ مِنَ الْخُرُوجِ عَلَيْهِ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنْ حَقْنِ الدِّمَاءِ وَتَسْكِينِ الدَّهْمَاءِ

“Para fuqaha sepakat bahwasanya wajib taat kepada penguasa yang menaklukkan secara paksa dan berjihad bersamanya, dan bahwasanya taat kepadanya lebih baik daripada melakukan pemberontakan terhadapnya, dalam rangka mencegah pertumpahan darah dan menenangkan masyarakat” 
[Fathul Bari, 13/7]

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata,

الْأَئِمَّةُ مُجِْمِعُونَ مِنْ كُلِّ مَذْهَبٍ عَلَى أَنَّ مَنْ تَغَلَّبَ عَلَى بَلَدٍ أَوْ بُلْدَانٍ؛ لَـُه حُكْمُ الْإِمَامِ فِي جَمِيعِ الْأَشْيَاءِ

“Para imam dari setiap madzhab sepakat bahwa siapa yang berhasil menaklukkan satu negeri atau beberapa negeri, maka hukumnya sebagai imam dalam segala sesuatu” 
[Ad-Durar As-Saniyyah, 7/239]
Jangan hanya salahkan pemimpin saja

Tapi perlu kita ketahui bahwa tidak selamanya kebaikan itu kuncinya di pemimpin saja. Kita juga perlu memperhatikan kualitas Tauhid dan aqidah rakyatnya, memperbaiki Aqidah masyarakat dahulu dan perlahan-lahan. Kita bisa lihat contoh ketika Bani Israil dipimpin oleh Firaun yang kejam, mereka tetap solid dan tetap beriman kepada Nabi Musa ‘alaihissalam. Aqidah mereka kokoh. 
Tetapi ketika diselamatkan oleh Nabi Musa dan mereka dipimpin oleh Nabi-Nabi setelah beliau terus secara bergantian, mereka malah menjadi orang-orang yang mendapat hukuman diubah menjadi kera dan babi. Karena Aqidah mereka terus terkikis.

Begitu juga dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala ditawarkan jadi pemimpin Arab, tetapi beliau tidak mau, dan lebih memilih memeprbaiki aqidah dan Tauhid umat. 
Dan perlu diketahui juga munculnya pemimpin yang zalim bisa jadi akibat perbuatan rakyatnya. 
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يَا مَعْشَرَ الْمُهَاجِرِينَ خَمْسٌ إِذَا ابْتُلِيتُمْ بِهِنَّ وَأَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ تُدْرِكُوهُنَّ وَمَا لَمْ تَظْهَرِ الْفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ حَتَّى يُعْلِنُوا بِهَا إِلَّا ظَهَرَ فِيهِمُ الأَمْرَاضُ الَّتِي لَمْ تَكُنْ فِي أَسْلَافِهِمِ وَمَا مَنَعُوا زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ إِلَّا مُنِعُوا الْقَطْرَ مِنَ السَّمَاءِ وَلَوْلَا الْبَهَائِمُ لَمْ يُمْطَرُوا وَ مَا لَمْ يُطَفِّفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ إِلَّا أُخِذُوا بِجَوْرِ السُّلْطَانِ وَشِدَّةِ الْمَئُونَةِ وَالسِّنِينَ وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ شَدِيْدٌ

“Hai orang-orang Muhajirin, lima perkara, jika kamu ditimpa lima perkara ini, aku mohon perlindungan kepada Allah agar kamu tidak mendapatkannya. Tidaklah muncul perbuatan keji (Zina,merampok, minum khamr, judi, dan lainnya) pada suatu masyarakat, sehingga mereka melakukannya dengan terang-terangan, kecuali akan tersebar penyakit-penyakit lainnya yang tidak ada pada orang-orang sebelum mereka. Orang-orang tidak menahan zakat hartanya, kecuali hujan dari langit juga akan ditahan dari mereka. Seandainya bukan karena hewan-hewan, manusia tidak akan diberi hujan. Tidaklah orang-orang mengurangi takaran dan timbangan, kecuali mereka akan disiksa dengan kezhaliman penguasa, kehidupan yang susah, dan paceklik. Dan selama pemimpin-pemimpin (negara, masyarakat) tidak menghukumi dengan kitab Allah. Dan memilih-milih sebagian apa yang Allah turunkan, kecuali Allah menjadikan permusuhan yang keras di antara mereka” 
[HR Ibnu Majah no. 4019 dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 106]

Maka dari itulah 
Jika ingin menyalahkan jeleknya kepemimpinan pemimpin, maka rakyatnyalah yang lebih dahulu mengintropeksi diri. Karena pemimpin adalah cerminan dari rakyatnya.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata, 

“Renungkanlah hikmah Allah Ta’ala dalam keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin dan pelindung umat manusia adalah sama dengan amalan rakyatnya bahkan perbuatan rakyat seakan-akan adalah cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka. 

Jika rakyat lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Namun, jika rakyat berbuat zholim, maka penguasa mereka akan ikut berbuat zholim. 

Jika tampak tindak penipuan di tengah-tengah rakyat, maka demikian pula hal ini akan terjadi pada pemimpin mereka. Jika rakyat menolak hak-hak Allah dan enggan memenuhinya, maka para pemimpin juga enggan melaksanakan hak-hak rakyat dan enggan menerapkannya. 

Jika dalam muamalah rakyat mengambil sesuatu dari orang-orang lemah, maka pemimpin mereka akan mengambil hak yang bukan haknya dari rakyatnya serta akan membebani mereka dengan tugas yang berat. 

Setiap yang rakyat ambil dari orang-orang lemah maka akan diambil pula oleh pemimpin mereka dari mereka dengan paksaan. Dengan demikian setiap amal perbuatan rakyat akan tercermin pada amalan penguasa mereka. Berdasarkah hikmah Allah, seorang pemimpin yang jahat dan keji hanyalah diangkat sebagaimana keadaan rakyatnya..” 
[Miftah Daris Sa’adah hal. 253, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut, Syamilah].

Wallahu a’lam.

Sumber rujukan penulisan 
https://muslim.or.id/22071-inilah-alasan-mengapa-pemimpin-hasil-pilpres-harus-tetap-ditaati.html

PEMBAGIAN HAKIKAT DAN SYARI’AT DALAM AJARAN TARIKAT TASAWWUF SUFIYAH

 
Sebagian kalangan tarikat Sufiyah membagi Islam menjadi dua bagian, yaitu: 
Syariat dan Hakikat Atau Zhahir dan Batin.

Ibnul-Jauzi rahimahullah menjelaskan: 
“Banyak kalangan Sufi yang membedakan (agama) menjadi Hakikat dan Syariat”.
[ Naqdul-‘Ilmi wal-‘Ulama, hlm. 246-247.]

Yang dimaksudkan dengan syariat menurut kaum Tasawwuf Sufi yaitu : 
Perkara apa saja yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya tanpa memerlukan adanya pentakwilan. Mereka menyebutnya dengan nama ilmu Zhahir atau Ilmu Syariah. golongan yang mengimani nash-nash syariat tanpa menggunakan takwil ini, masuk ke dalam kategori kelompok Awam. dan yang termasuk ke dalam klasifikasi ini, menurut kaca mata mereka yaitu: 
Para Imam yang Empat, seluruh ulama fiqih (fuqaha), dan ulama Hadits.

Adapun pengertian al-haqiqah (hakikat), menurut mereka yaitu: 
Bisikan-bisikan hati dan mimpi-mimpi kaum Sufi, yang mereka yakini sebagai takwil (penafsiran) dalam ilmu Syariat. maka dari itu Ilmu ini dikenal oleh mereka dengan istilah ilmu bathin, dan para pemiliknya pun disebut ahlul-bathin. 
 
Mereka inilah menurut kalangan Sufi yang dikategorikan sebagai manusia-manusia khash, yang menyandarkan cara pengamalan agama pada penakwilan nash-nash syariat. Bahkan kata mereka, ilmu bathin tersebut lebih tinggi daripada ilmu Syariah.

Mereka melabeli para ulama syariah dengan sebutan yang merendahkan, Seperti: ‘al-‘awwaam’ (orang-orang awam), ahlu zhahir, al mahjubun (kaum yang terhalangi dari ilmu). Bahkan, kata ahlu syubuhat dan hawa nafsu pun mereka lekatkan kepada para ulama syariah.

Asy Syarani menukil riwayat dari seorang tokoh Sufi, Nashr bin Ahmad ad Daqqaq, ia berkata : “Kesalahan seorang murid ada tiga : menikah, menulis hadits dan bergaul dengan ulama syariah”.

Lain lagi dengan Syaikh Hamd an Nahlan at Turabi. Sebelumnya ia menyibukkan diri dengan mengajar ilmu fiqh. Akan tetapi, pasca mengenal tarikat,menghabiskan waktunya selama 32 bulan untuk berkholwat. Murid-muridnya pun memintanya untuk kembali mengajar. Akan tetapi ia menjawab : 
“Saya dan al Khalil (nama seorang ulama fiqih besar) telah berpisah sampai hari Kiamat” 
[ Târîkh Baghdâd (2/331)]

HAKIKAT “ILMU HAKIKAT” SUFIYAH
 
Menurut seorang tokoh Sufi yang bernama Ibnu ‘Ajîbah 
ket: 
Ahmad bin Muhammad bin al Mahdi bin Ajîbah, dia adalah seorang tokoh Sufi, meninggal pada tahun 122H. Dia menulis sebuah kitab berjudul Iqâzhul-Himami fi Syarhil-Hikam.
 
Bahwa orang yang membagi agama menjadi hakikat dan syariat ialah Nabi. Menurut Ibnu ‘Ajîbah, Allah mengajarkannya kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui wahyu dan ilham. Malaikat Jibril datang pertama kali membawa “syariat”. Dan tatkala “syariat” sudah mengakar, maka Malaikat Jabril turun untuk kedua kalinya dengan membawa “haqiqat”. Tetapi hanya sebagian orang yang memperolehnya. Dan orang yang pertama kali memunculkannya ialah Sayyiduna ‘Ali.
[ Iqâzhul-Himami fi Syarhil-Hikam (1/5). Dikutip dari halaman 149 Ijtimâ’ Juyûsyil-Islâmiyyah lil- Imam Ibnil-Qayyim ma’a Mauqifihi min Ba’dhil-Firaq, Dr. ‘Awwâd bin ‘Abdullah al-Mu’tiq ]

Anggapan dan keyakinan seperti ini, tentu merupakan pemikiran bid’ah model baru. Karena sejak awal, kaum Muslimin tidak pernah mengenal pembagian ini. Kaum Muslimin tidak pernah memikirkannya, apalagi sampai mengakuinya. 
 
Benih pembagian agama menjadi “hakikat” dan “syariat” ini sebenarnya tumbuh dari sekte Syi`ah yang mengatakan bahwa setiap segala sesuatu memiliki sisi zhahir dan batin. Sehingga menurut kaum Sufi demikian pula dengan Al-Qur`an, ia mempunyai sisi zhahir dan batin. Setiap ayat dan kata-katanya memuat pengertian zhahir dan batin. Sisi batin itu tidak terdeteksi kecuali oleh kalangan hamba Allah yang khusus (kaum khawash), yang konon, Allah mengistimewakannya dengan karunia ini, bukan kepada orang selain mereka.
[ Mengenai aliran Bathiniyah, lihat kupasannya di Majalah As-Sunnah, Edisi 01/Tahun X/1427 H/2006 M, hlm. 54-57.]

Oleh karena itu, kalangan Sufi yang memegangi bid’ah ini, mereka telah mengikuti jalan ta`wil, sehingga “terpaksa” banyak menggunakan bahasa-bahasa dan istilah yang biasa dipakai orang-orang Syi`ah.

KONSEKUENSI ADANYA “HAKIKAT” DAN “SYARIAT”
 
Keyakinan yang telah mengakar pada sebagian penganut Sufi ini, memunculkan banyak konsekuensi buruk. Mulai dari berdusta terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam dan juga kebohongan terhadap para sahabat, terutama sahabat Abu Bakr, ‘Umar, dan Utsman Radhiyallahu ‘anhum. Beberapa konsekuensi ini mungkin saja tidak mereka sadari, atau bahkan mereka tolak, akan tetapi, demikianlah adanya.

Misalnya tentang kedustaan terhadap Allah Ta’ala,. Yaitu: 
mereka melakukan pembagian agama menjadi “hakikat” dan “syariat” itu turun dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Rasul-Nya dengan perantaraan Malaikat Jibril Alaihissalam. 
 
Sedangkan kedustaan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa adanya pembagian ini telah menyiratkan tuduhan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan kitmanul-‘ilmi (menyembunyikan sebagian ilmu) dan tidak menjalankan amanah tabligh secara penuh. Padahal, terdapat ancaman Allah Subhanahu wa Ta’ala atas orang-orang yang menyembunyikan ilmu.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati”. [al- Baqarah/2:159].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أَلْجَمَهُ اللَّهُ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barang siapa yang ditanya ilmu, kemudian ia menyembunyikannya, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membelenggu mulutnya dengan tali kekang dari neraka pada hari Kiamat kelak” 
[HR Abu Dawud].

Sehingga tidak mungkin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sebagian ilmu. Anggapan itu, nyata merupakan pendapat yang mengada-ada. Ilmu apakah yang beliau sembunyikan,,,? 
 
Padahal saat haji Wada`, beliau telah mempersaksikan tentang tugasnya yang sudah disampaikannya secara utuh. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun telah menegaskan kesempurnaan Islam dalam Al-Qur`anul-Karim.

Adapun lontaran kebohongan terhadap para sahabat, yaitu: 
Anggapan bahwa para sahabat Radhiyallahu ‘anhum adalah orang-orang sesat, bodoh, dan tidak mengenal ilmu hakikat yang dapat mendekatkan manusia kepada mahabatullah. Lontaran ini tentu merupakan kedustaan. Sebab mengandung hujatan yang meminggirkan peran para sahabat Radhiyallahu ‘anhum, dan hanya menempatkan Sahabat ‘Ali sajalah yang telah berperan dalam masalah ini, meskipun hakikatnya mereka pun berdusta atas nama Sahabat ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu.

Secara khusus, kedustaan ini memuat dua permasalahan.
Pertama : 
Yakni semakin menguatkan adanya benang merah antara Sufi dan Syi’ah.
Kedua : 
Kedustaan ini merupakan petunjuk adanya hasad terpendam terhadap agama Islam. Karena pembagian agama dalam dua kutub “syariat” dan “hakikat”, di dalamnya mengandung usaha untuk menjauhkan umat Islam dari generasi terbaiknya, yaitu para sahabat Radhiyallahu ‘anhum yang mulia.

Semoga Allah memberikan taufik kepada kaum Muslimin untuk memahami agama Islam dengan cara yang benar.

Sumber rujukan penulisan
https://almanhaj.or.id/2662-kekeliruan-pembagian-hakikat-dan-syariat-ala-tarikat-sufiyah.html

Sabtu, 01 Desember 2018

Jin Khodam


Benarkah ketika Orang sudah di cintai Oleh Alloh
Maka Jin dapat menjadi khodam (dikuasai menjadi Pembantu)orang tersebut yang di cintai oleh NYA,

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
tidaklah Aneh jika kita banyak menemui keyakinan Jin Khodam seperti ini 
karena keyakinan Jin Khodam ini banyak kita temui dari para kaum Tasawwuf Sufi

Istilah khodam berasal dari kata Khodim [arab: خادم] yang artinya pembantu. Jin khodam berarti jin pembantu. Orang jawa bilang, prewangan. 

Disebut khodam, karena jin ini berinteraksi dengan rekan dekatnya dari kalangan manusia, dan sedia untuk membantunya. Sehingga terkadang dia bisa melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh umumnya manusia. Tentu saja karena, dengan adanya bantuan Jin Khodam ini sebagai pembantunya.

Tipikal Pendusta

Realita tentang jin yang patut kita waspadai adalah mereka bisa melihat kita, namun kita tidak bisa melihat mereka. Allah berfirman,

إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ

“Sesungguhnya iblis dan para pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang (di sana) kamu tidak bisa melihat mereka…” 
(QS. Al-A’raf: 27)

Dipihak lain, jin memiliki tipikal pendusta. Dia bisa mengaku ingin menjadi teman manusia, mengaku mau membantu manusia, namun sejatinya dia ingin menipunya.

Ketika Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ditugasi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjaga makanan zakat, malam harinya ada jin yang berubah ujud jadi orang remaja dan mencuri. Ketika ditangkap dan hendak dilaporkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia berusaha memelas dan berjanji tidak akan kembali. Tapi dia dusta, dia tetap kembali, hingga terjadi selama 3 malam. Di malam ketiga, Abu Hurairah tidak memberi ampun dan akan dilaporkan kepada Rasulullah. Setelah diajari bacaan ayat kursi, Abu Hurairah melepaskannya. Pagi harinya, kejadian ini beliau sampaikan kepada Rasulullah, lalu beliau bersabda,

أَمَا إِنَّهُ قَدْ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ

Kali ini dia benar, meskipun aslinya dia pendusta.” 
(HR. Bukhari 2311).

Al-Hafidz Ibnu Hajar ketika menjelaskan kalimat dalam hadis ini, beliau mengatakan

أن الشيطان من شأنه أن يكذب

“Bahwa setan (dari golongan jin), memiliki hobi berdusta.” 
(Fathul Bari, 4/489)

Bisa anda bayangkan, tipikal pendusta, bisa melihat manusia, tapi manusia tidak bisa melihat mereka. Kemudian ada manusia yang bekerja sama dengan mereka. 
Potensi jin yang dapat melihat manusia ini dapat digunakan untuk menipu manusia yang menjadi rekannya tentu saja sangat besar. Karena itu, seharusnya makhluk seperti ini dihindari, dijauhi, serta diwaspadai. Bukan malah didekati dan diajak kerja sama. Maka sungguh aneh ketika ada orang yang begitu berharap bisa bekerja sama dengan jin. dan yang lebih anehnya lagi mengaku dekat dengan Jin sebagai tanda bahwa dirinya dicintai oleh Alloh

Orang menyebut jin ini pembantu manusia. Benarkah anggapan ini,,,? 
Siapa yang sejatinya dibantu, si jin ataukah manusia,,,? 
Siapa yang sejatinya lebih berkuasa dan dapat menguasai, si jin ataukah manusia,,,?

Mustahil si jin ini mau membantu secara cuma-cuma. Pasti ada batu dibalik udang. Jin ini mau membantu, karena manusia mau mengabdi kepada jin. 
Sehingga siapa yang sejatinya diuntungkan,,,? 
Apalagi ketika berhadapan dengan Jin yang mempunyai potensi serta karakter Penipu, seperti yang telah dijelaskan diatas 
Jawabannya tentu saja si Jin. 
Dia yang lebih berkuasa, sementara manusia akhirnya selalu menjadi bergantung kepada jin, dan bukan kepada Alloh Subhanahu wata'ala

Naudzubillah

Perlu diketahui sesungguhnya
Tidak Ada Manusia didunia ini yang dapat Menguasai Jin, selain Nabi Sulaiman

Allah kisahkan dalam Al-Quran, salah satu do'a Nabi Sulaiman,

قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

Nabi Sulaiman berdoa: 
“Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kekuasaan yang tidak dimiliki oleh seorangpun sesudahku, Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pemberi”. 
(QS. Shad: 35)

Salah satu diantara kekuasaan Nabi Sulaiman, yang tidak mungkin dimiliki orang lain adalah dapat mengendalikan dan menguasai jin. Sehingga semua jin menjadi tunduk dan patuh kepada Nabi Sulaiman.

Bahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak mau melangkahi Nabi Sulaiman dengan sebab Do'a yang telah dipanjatkan kepada Alloh
Suatu ketika, pada saat mengimami shalat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan gerakan yang berbeda di luar kebiasaannya. Pagi harinya, Beliau menceritakan,

إِنَّ عِفْرِيتًا مِنَ الجِنِّ تَفَلَّتَ عَلَيَّ البَارِحَةَ لِيَقْطَعَ عَلَيَّ الصَّلاَةَ، فَأَمْكَنَنِي اللَّهُ مِنْهُ، فَأَرَدْتُ أَنْ أَرْبِطَهُ إِلَى سَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي المَسْجِدِ حَتَّى تُصْبِحُوا وَتَنْظُرُوا إِلَيْهِ كُلُّكُمْ، فَذَكَرْتُ قَوْلَ أَخِي سُلَيْمَانَ: رَبِّ هَبْ لِي مُلْكًا لاَ يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِي فَرَدَّهُ خَاسِئًا

Sesungguhnya jin ifrit menampakkan diri kepadaku tadi malam, untuk mengganggu shalatku. Kemudian Allah memberikan kemampuan kepadakku untuk memegangnya. Aku ingin untuk mengikatnya di salah satu tiang masjid, sehingga pagi harinya kalian semua bisa melihatnya. Namun saya teringat doa saudaraku Sulaiman: 
“Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kekuasaan yang tidak dimiliki oleh seorangpun sesudahku.” 
Kemudian beliau melepaskan jin itu dalam keadaan terhina. 
(HR. Bukhari 461 & Muslim 541).

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau mengikat jin itu di tiang masjid, karena itu jika beliau lakukan berarti beliau telah menguasai jin, yang itu menjadi keistimewaan Sulaiman. Karena teringat do'a Nabi Sulaiman, dan akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melepaskan jin itu, padahal jika beliau mau, beliau sangat mampu melakukannya.

Oleh karena itu Dengan sebab inilah sesungguhnya Jin khodam hanyalah sebagai tipuan belaka, agar manusia Jauh dari Alloh subhanahu wta'ala, dikarenakan sesungguhnya seluruh Manusia yang ada dimuka bumi ini tidak dapat menguasai bangsa Jin untuk dijadikan Pembantu / khodam kecuali Nabi Sulaiman

Umumnya Terjadi Penyimpangan

Karena itu, yang umum terjadi pada manusia yang memiliki khodam adalah penyimpangan bukan kerja sama dengan cara baik-baik. 

Bentuk penyimpangannya, manusia melakukan pengabdian dan penghambaan kepada jin, kemudian jin membantunya untuk mewujudkan keinginan manusia. Jadilah jin bertambah sombong dan manusia bertambah hina dan bergelimang dosa karena melakukan berbagai kesyirikan atas permintaan si jin. 
Dan Inilah yang diakui oleh Jin itu sendiri, sebagaimana yang Allah ceritakan di surat Al-Jin:

وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقاً

Bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, Maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.

Dan ketika di hari kiamat, mereka dikumpulkan dan saling menyalahkan. Allah memasukkan mereka semua ke dalam neraka, karena melakukan kerja sama yang diawali dengan kesyirikan,

وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُمْ مِنَ الْإِنْسِ وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُمْ مِنَ الْإِنْسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا الَّذِي أَجَّلْتَ لَنَا قَالَ النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِينَ فِيهَا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ

Ingatlah hari di waktu Allah menghimpunkan mereka semuanya (dan Allah berfirman): “Hai golongan jin, Sesungguhnya kamu telah banyak menyesatkan manusia”, lalu berkatalah kawan-kawan meraka dari golongan manusia: “Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya sebahagian daripada Kami telah dapat kesenangan dari sebahagian (yang lain) dan Kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami”. Allah berfirman: “Neraka Itulah tempat tinggal kamu, sedang kamu kekal di dalamnya, kecuali kalau Allah menghendaki (yang lain)”. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui. 
(QS. A-An’am: 128).

Semoga Allah melindungi kita dari tipuan para musuh Allah.
Aamiin

Sumber Rujukan
https://konsultasisyariah.com/20055-mengenal-jin-khodam.html