Minggu, 02 Desember 2018

Mengapa Pemimpin Hasil Dokrasi Harus Ditaati


Pemilu/Pilpres dan sistem demokrasi memang tidak sesuai dengan syariat baik secara dalil dan akal. Secara akal, suara satu orang profesor atau orang yang berlimu dan ahli disamakan dengan satu orang yang tidak tahu apa-apa atau orang tersebut bodoh.

Secara syari’at tidak sesuai juga, karena pemilihan pemimpin yang dianggap dalam Islam ada beberapa cara:

Dewan Syura (Ahlul Halli Wal ‘Aqdi), 
sebagaimana Umar bin Khathab meninggalkan 6 orang ahli syura
Tunjuk langsung, sebagaimana Abu Bakar ke Umar Radhiallahu’anhuma
Mughalabah, pemimpin di kalahkan oleh kelompok yang mengalahkan

Pemimpin Hasil Dari Demokrasi Tetap Harus Ditaati

Mungkin banyak yang bertanya-tanya mengapa ada yang berpendapat ikut serta pemilu tidak disyariatkan, tetapi jika ada presiden sudah terpilih lewat Pemilu/Pilpres malah diwajibkan untuk taat?

Jawabnya, siapapun yang terangkat menjadi pemimpin yang sah maka wajib ditaati walaupun caranya tidak sesuai syariat, misalnya cara ke 3 yaitu mughalabah, jika raja yang sah dikalahkan dan dikudeta, maka wajib mentaati yang baru.

Hadits berikut bisa memberi penjelasan. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda agar taat dan patuh kepada pemimpin walaupun seorang budak Habasyah yang hitam legam. Beliau bersabda,

عليكم بالسَّمعِ والطَّاعةِ وإن تأمَّرَ عليكم عبدٌ حبشِيٌّ

“Wajib bagi kalian untuk mendengar dan taat meskipun yang memerintah kalian adalah seorang budak Habasyah” 
[ HR. Ahmad 4/126, At-Tirmidzi no. 2676, Abu Dawud no. 4607, Ibnu Majah no. 42, dari ‘Irbadh bin Sariyah ]

Padahal syarat jadi pemimpin adalah merdeka, karena budak harus taat terhadap tuannya. Maka ketika ia menjadi pemimpin, ini jelas sudah tidak sesuai dengan syariat. 
Akan tetapi jika seandainya benar-benar jadi pemimpin, maka harus ditaati, karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda demikian. Jika saja budak yang melanggar syarat jadi pemimpin harus ditaati (dan budak menjadi pemimpin jelas tidak sesuai syariat), maka apalagi cara yang lain, seperti hasil demokrasi

Asy-Syinqithi rahimahullah berkata,

أَمَّا لَوْ تَغَلَّبَ عَبْدٌ حَقِيْقَةً بِالْقُوَّةِ فَإِنَّ طَاعَتَهُ تَجِبُ إِخْمَادًا لِلْفِتْنَةِ وَصَوْنًا لِلدِّمَاءِ مَا لَمْ يَأْمُرْ بِمَعْصِيَةٍ

“Jika seorang budak secara nyata berhasil menguasai secara paksa dengan kekuatannya, maka taat kepadanya adalah wajib dalam rangka memadamkan gejolak (kekacauan) dan menghindari pertumpahan darah, selama dia tidak memerintahkan kepada maksiat” 
[ Adhwa’ul Bayan, Asy-Syinqithi, 1/27].

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah, menukilkan perkataan Ibnu Baththal ,

وَقَدْ أَجْمَعَ الْفُقَهَاءُ عَلَى وُجُوبِ طَاعَةِ السُّلْطَانِ الْمُتَغَلِّبِ وَالْجِهَادِ مَعَهُ وَأَنَّ طَاعَتَهُ خَيْرٌ مِنَ الْخُرُوجِ عَلَيْهِ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنْ حَقْنِ الدِّمَاءِ وَتَسْكِينِ الدَّهْمَاءِ

“Para fuqaha sepakat bahwasanya wajib taat kepada penguasa yang menaklukkan secara paksa dan berjihad bersamanya, dan bahwasanya taat kepadanya lebih baik daripada melakukan pemberontakan terhadapnya, dalam rangka mencegah pertumpahan darah dan menenangkan masyarakat” 
[Fathul Bari, 13/7]

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata,

الْأَئِمَّةُ مُجِْمِعُونَ مِنْ كُلِّ مَذْهَبٍ عَلَى أَنَّ مَنْ تَغَلَّبَ عَلَى بَلَدٍ أَوْ بُلْدَانٍ؛ لَـُه حُكْمُ الْإِمَامِ فِي جَمِيعِ الْأَشْيَاءِ

“Para imam dari setiap madzhab sepakat bahwa siapa yang berhasil menaklukkan satu negeri atau beberapa negeri, maka hukumnya sebagai imam dalam segala sesuatu” 
[Ad-Durar As-Saniyyah, 7/239]
Jangan hanya salahkan pemimpin saja

Tapi perlu kita ketahui bahwa tidak selamanya kebaikan itu kuncinya di pemimpin saja. Kita juga perlu memperhatikan kualitas Tauhid dan aqidah rakyatnya, memperbaiki Aqidah masyarakat dahulu dan perlahan-lahan. Kita bisa lihat contoh ketika Bani Israil dipimpin oleh Firaun yang kejam, mereka tetap solid dan tetap beriman kepada Nabi Musa ‘alaihissalam. Aqidah mereka kokoh. 
Tetapi ketika diselamatkan oleh Nabi Musa dan mereka dipimpin oleh Nabi-Nabi setelah beliau terus secara bergantian, mereka malah menjadi orang-orang yang mendapat hukuman diubah menjadi kera dan babi. Karena Aqidah mereka terus terkikis.

Begitu juga dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala ditawarkan jadi pemimpin Arab, tetapi beliau tidak mau, dan lebih memilih memeprbaiki aqidah dan Tauhid umat. 
Dan perlu diketahui juga munculnya pemimpin yang zalim bisa jadi akibat perbuatan rakyatnya. 
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يَا مَعْشَرَ الْمُهَاجِرِينَ خَمْسٌ إِذَا ابْتُلِيتُمْ بِهِنَّ وَأَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ تُدْرِكُوهُنَّ وَمَا لَمْ تَظْهَرِ الْفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ حَتَّى يُعْلِنُوا بِهَا إِلَّا ظَهَرَ فِيهِمُ الأَمْرَاضُ الَّتِي لَمْ تَكُنْ فِي أَسْلَافِهِمِ وَمَا مَنَعُوا زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ إِلَّا مُنِعُوا الْقَطْرَ مِنَ السَّمَاءِ وَلَوْلَا الْبَهَائِمُ لَمْ يُمْطَرُوا وَ مَا لَمْ يُطَفِّفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ إِلَّا أُخِذُوا بِجَوْرِ السُّلْطَانِ وَشِدَّةِ الْمَئُونَةِ وَالسِّنِينَ وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ شَدِيْدٌ

“Hai orang-orang Muhajirin, lima perkara, jika kamu ditimpa lima perkara ini, aku mohon perlindungan kepada Allah agar kamu tidak mendapatkannya. Tidaklah muncul perbuatan keji (Zina,merampok, minum khamr, judi, dan lainnya) pada suatu masyarakat, sehingga mereka melakukannya dengan terang-terangan, kecuali akan tersebar penyakit-penyakit lainnya yang tidak ada pada orang-orang sebelum mereka. Orang-orang tidak menahan zakat hartanya, kecuali hujan dari langit juga akan ditahan dari mereka. Seandainya bukan karena hewan-hewan, manusia tidak akan diberi hujan. Tidaklah orang-orang mengurangi takaran dan timbangan, kecuali mereka akan disiksa dengan kezhaliman penguasa, kehidupan yang susah, dan paceklik. Dan selama pemimpin-pemimpin (negara, masyarakat) tidak menghukumi dengan kitab Allah. Dan memilih-milih sebagian apa yang Allah turunkan, kecuali Allah menjadikan permusuhan yang keras di antara mereka” 
[HR Ibnu Majah no. 4019 dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 106]

Maka dari itulah 
Jika ingin menyalahkan jeleknya kepemimpinan pemimpin, maka rakyatnyalah yang lebih dahulu mengintropeksi diri. Karena pemimpin adalah cerminan dari rakyatnya.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata, 

“Renungkanlah hikmah Allah Ta’ala dalam keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin dan pelindung umat manusia adalah sama dengan amalan rakyatnya bahkan perbuatan rakyat seakan-akan adalah cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka. 

Jika rakyat lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Namun, jika rakyat berbuat zholim, maka penguasa mereka akan ikut berbuat zholim. 

Jika tampak tindak penipuan di tengah-tengah rakyat, maka demikian pula hal ini akan terjadi pada pemimpin mereka. Jika rakyat menolak hak-hak Allah dan enggan memenuhinya, maka para pemimpin juga enggan melaksanakan hak-hak rakyat dan enggan menerapkannya. 

Jika dalam muamalah rakyat mengambil sesuatu dari orang-orang lemah, maka pemimpin mereka akan mengambil hak yang bukan haknya dari rakyatnya serta akan membebani mereka dengan tugas yang berat. 

Setiap yang rakyat ambil dari orang-orang lemah maka akan diambil pula oleh pemimpin mereka dari mereka dengan paksaan. Dengan demikian setiap amal perbuatan rakyat akan tercermin pada amalan penguasa mereka. Berdasarkah hikmah Allah, seorang pemimpin yang jahat dan keji hanyalah diangkat sebagaimana keadaan rakyatnya..” 
[Miftah Daris Sa’adah hal. 253, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut, Syamilah].

Wallahu a’lam.

Sumber rujukan penulisan 
https://muslim.or.id/22071-inilah-alasan-mengapa-pemimpin-hasil-pilpres-harus-tetap-ditaati.html

PEMBAGIAN HAKIKAT DAN SYARI’AT DALAM AJARAN TARIKAT TASAWWUF SUFIYAH

 
Sebagian kalangan tarikat Sufiyah membagi Islam menjadi dua bagian, yaitu: 
Syariat dan Hakikat Atau Zhahir dan Batin.

Ibnul-Jauzi rahimahullah menjelaskan: 
“Banyak kalangan Sufi yang membedakan (agama) menjadi Hakikat dan Syariat”.
[ Naqdul-‘Ilmi wal-‘Ulama, hlm. 246-247.]

Yang dimaksudkan dengan syariat menurut kaum Tasawwuf Sufi yaitu : 
Perkara apa saja yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya tanpa memerlukan adanya pentakwilan. Mereka menyebutnya dengan nama ilmu Zhahir atau Ilmu Syariah. golongan yang mengimani nash-nash syariat tanpa menggunakan takwil ini, masuk ke dalam kategori kelompok Awam. dan yang termasuk ke dalam klasifikasi ini, menurut kaca mata mereka yaitu: 
Para Imam yang Empat, seluruh ulama fiqih (fuqaha), dan ulama Hadits.

Adapun pengertian al-haqiqah (hakikat), menurut mereka yaitu: 
Bisikan-bisikan hati dan mimpi-mimpi kaum Sufi, yang mereka yakini sebagai takwil (penafsiran) dalam ilmu Syariat. maka dari itu Ilmu ini dikenal oleh mereka dengan istilah ilmu bathin, dan para pemiliknya pun disebut ahlul-bathin. 
 
Mereka inilah menurut kalangan Sufi yang dikategorikan sebagai manusia-manusia khash, yang menyandarkan cara pengamalan agama pada penakwilan nash-nash syariat. Bahkan kata mereka, ilmu bathin tersebut lebih tinggi daripada ilmu Syariah.

Mereka melabeli para ulama syariah dengan sebutan yang merendahkan, Seperti: ‘al-‘awwaam’ (orang-orang awam), ahlu zhahir, al mahjubun (kaum yang terhalangi dari ilmu). Bahkan, kata ahlu syubuhat dan hawa nafsu pun mereka lekatkan kepada para ulama syariah.

Asy Syarani menukil riwayat dari seorang tokoh Sufi, Nashr bin Ahmad ad Daqqaq, ia berkata : “Kesalahan seorang murid ada tiga : menikah, menulis hadits dan bergaul dengan ulama syariah”.

Lain lagi dengan Syaikh Hamd an Nahlan at Turabi. Sebelumnya ia menyibukkan diri dengan mengajar ilmu fiqh. Akan tetapi, pasca mengenal tarikat,menghabiskan waktunya selama 32 bulan untuk berkholwat. Murid-muridnya pun memintanya untuk kembali mengajar. Akan tetapi ia menjawab : 
“Saya dan al Khalil (nama seorang ulama fiqih besar) telah berpisah sampai hari Kiamat” 
[ Târîkh Baghdâd (2/331)]

HAKIKAT “ILMU HAKIKAT” SUFIYAH
 
Menurut seorang tokoh Sufi yang bernama Ibnu ‘Ajîbah 
ket: 
Ahmad bin Muhammad bin al Mahdi bin Ajîbah, dia adalah seorang tokoh Sufi, meninggal pada tahun 122H. Dia menulis sebuah kitab berjudul Iqâzhul-Himami fi Syarhil-Hikam.
 
Bahwa orang yang membagi agama menjadi hakikat dan syariat ialah Nabi. Menurut Ibnu ‘Ajîbah, Allah mengajarkannya kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui wahyu dan ilham. Malaikat Jibril datang pertama kali membawa “syariat”. Dan tatkala “syariat” sudah mengakar, maka Malaikat Jabril turun untuk kedua kalinya dengan membawa “haqiqat”. Tetapi hanya sebagian orang yang memperolehnya. Dan orang yang pertama kali memunculkannya ialah Sayyiduna ‘Ali.
[ Iqâzhul-Himami fi Syarhil-Hikam (1/5). Dikutip dari halaman 149 Ijtimâ’ Juyûsyil-Islâmiyyah lil- Imam Ibnil-Qayyim ma’a Mauqifihi min Ba’dhil-Firaq, Dr. ‘Awwâd bin ‘Abdullah al-Mu’tiq ]

Anggapan dan keyakinan seperti ini, tentu merupakan pemikiran bid’ah model baru. Karena sejak awal, kaum Muslimin tidak pernah mengenal pembagian ini. Kaum Muslimin tidak pernah memikirkannya, apalagi sampai mengakuinya. 
 
Benih pembagian agama menjadi “hakikat” dan “syariat” ini sebenarnya tumbuh dari sekte Syi`ah yang mengatakan bahwa setiap segala sesuatu memiliki sisi zhahir dan batin. Sehingga menurut kaum Sufi demikian pula dengan Al-Qur`an, ia mempunyai sisi zhahir dan batin. Setiap ayat dan kata-katanya memuat pengertian zhahir dan batin. Sisi batin itu tidak terdeteksi kecuali oleh kalangan hamba Allah yang khusus (kaum khawash), yang konon, Allah mengistimewakannya dengan karunia ini, bukan kepada orang selain mereka.
[ Mengenai aliran Bathiniyah, lihat kupasannya di Majalah As-Sunnah, Edisi 01/Tahun X/1427 H/2006 M, hlm. 54-57.]

Oleh karena itu, kalangan Sufi yang memegangi bid’ah ini, mereka telah mengikuti jalan ta`wil, sehingga “terpaksa” banyak menggunakan bahasa-bahasa dan istilah yang biasa dipakai orang-orang Syi`ah.

KONSEKUENSI ADANYA “HAKIKAT” DAN “SYARIAT”
 
Keyakinan yang telah mengakar pada sebagian penganut Sufi ini, memunculkan banyak konsekuensi buruk. Mulai dari berdusta terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam dan juga kebohongan terhadap para sahabat, terutama sahabat Abu Bakr, ‘Umar, dan Utsman Radhiyallahu ‘anhum. Beberapa konsekuensi ini mungkin saja tidak mereka sadari, atau bahkan mereka tolak, akan tetapi, demikianlah adanya.

Misalnya tentang kedustaan terhadap Allah Ta’ala,. Yaitu: 
mereka melakukan pembagian agama menjadi “hakikat” dan “syariat” itu turun dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Rasul-Nya dengan perantaraan Malaikat Jibril Alaihissalam. 
 
Sedangkan kedustaan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa adanya pembagian ini telah menyiratkan tuduhan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan kitmanul-‘ilmi (menyembunyikan sebagian ilmu) dan tidak menjalankan amanah tabligh secara penuh. Padahal, terdapat ancaman Allah Subhanahu wa Ta’ala atas orang-orang yang menyembunyikan ilmu.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati”. [al- Baqarah/2:159].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أَلْجَمَهُ اللَّهُ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barang siapa yang ditanya ilmu, kemudian ia menyembunyikannya, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membelenggu mulutnya dengan tali kekang dari neraka pada hari Kiamat kelak” 
[HR Abu Dawud].

Sehingga tidak mungkin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sebagian ilmu. Anggapan itu, nyata merupakan pendapat yang mengada-ada. Ilmu apakah yang beliau sembunyikan,,,? 
 
Padahal saat haji Wada`, beliau telah mempersaksikan tentang tugasnya yang sudah disampaikannya secara utuh. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun telah menegaskan kesempurnaan Islam dalam Al-Qur`anul-Karim.

Adapun lontaran kebohongan terhadap para sahabat, yaitu: 
Anggapan bahwa para sahabat Radhiyallahu ‘anhum adalah orang-orang sesat, bodoh, dan tidak mengenal ilmu hakikat yang dapat mendekatkan manusia kepada mahabatullah. Lontaran ini tentu merupakan kedustaan. Sebab mengandung hujatan yang meminggirkan peran para sahabat Radhiyallahu ‘anhum, dan hanya menempatkan Sahabat ‘Ali sajalah yang telah berperan dalam masalah ini, meskipun hakikatnya mereka pun berdusta atas nama Sahabat ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu.

Secara khusus, kedustaan ini memuat dua permasalahan.
Pertama : 
Yakni semakin menguatkan adanya benang merah antara Sufi dan Syi’ah.
Kedua : 
Kedustaan ini merupakan petunjuk adanya hasad terpendam terhadap agama Islam. Karena pembagian agama dalam dua kutub “syariat” dan “hakikat”, di dalamnya mengandung usaha untuk menjauhkan umat Islam dari generasi terbaiknya, yaitu para sahabat Radhiyallahu ‘anhum yang mulia.

Semoga Allah memberikan taufik kepada kaum Muslimin untuk memahami agama Islam dengan cara yang benar.

Sumber rujukan penulisan
https://almanhaj.or.id/2662-kekeliruan-pembagian-hakikat-dan-syariat-ala-tarikat-sufiyah.html

Sabtu, 01 Desember 2018

Jin Khodam


Benarkah ketika Orang sudah di cintai Oleh Alloh
Maka Jin dapat menjadi khodam (dikuasai menjadi Pembantu)orang tersebut yang di cintai oleh NYA,

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
tidaklah Aneh jika kita banyak menemui keyakinan Jin Khodam seperti ini 
karena keyakinan Jin Khodam ini banyak kita temui dari para kaum Tasawwuf Sufi

Istilah khodam berasal dari kata Khodim [arab: خادم] yang artinya pembantu. Jin khodam berarti jin pembantu. Orang jawa bilang, prewangan. 

Disebut khodam, karena jin ini berinteraksi dengan rekan dekatnya dari kalangan manusia, dan sedia untuk membantunya. Sehingga terkadang dia bisa melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh umumnya manusia. Tentu saja karena, dengan adanya bantuan Jin Khodam ini sebagai pembantunya.

Tipikal Pendusta

Realita tentang jin yang patut kita waspadai adalah mereka bisa melihat kita, namun kita tidak bisa melihat mereka. Allah berfirman,

إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ

“Sesungguhnya iblis dan para pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang (di sana) kamu tidak bisa melihat mereka…” 
(QS. Al-A’raf: 27)

Dipihak lain, jin memiliki tipikal pendusta. Dia bisa mengaku ingin menjadi teman manusia, mengaku mau membantu manusia, namun sejatinya dia ingin menipunya.

Ketika Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ditugasi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjaga makanan zakat, malam harinya ada jin yang berubah ujud jadi orang remaja dan mencuri. Ketika ditangkap dan hendak dilaporkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia berusaha memelas dan berjanji tidak akan kembali. Tapi dia dusta, dia tetap kembali, hingga terjadi selama 3 malam. Di malam ketiga, Abu Hurairah tidak memberi ampun dan akan dilaporkan kepada Rasulullah. Setelah diajari bacaan ayat kursi, Abu Hurairah melepaskannya. Pagi harinya, kejadian ini beliau sampaikan kepada Rasulullah, lalu beliau bersabda,

أَمَا إِنَّهُ قَدْ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ

Kali ini dia benar, meskipun aslinya dia pendusta.” 
(HR. Bukhari 2311).

Al-Hafidz Ibnu Hajar ketika menjelaskan kalimat dalam hadis ini, beliau mengatakan

أن الشيطان من شأنه أن يكذب

“Bahwa setan (dari golongan jin), memiliki hobi berdusta.” 
(Fathul Bari, 4/489)

Bisa anda bayangkan, tipikal pendusta, bisa melihat manusia, tapi manusia tidak bisa melihat mereka. Kemudian ada manusia yang bekerja sama dengan mereka. 
Potensi jin yang dapat melihat manusia ini dapat digunakan untuk menipu manusia yang menjadi rekannya tentu saja sangat besar. Karena itu, seharusnya makhluk seperti ini dihindari, dijauhi, serta diwaspadai. Bukan malah didekati dan diajak kerja sama. Maka sungguh aneh ketika ada orang yang begitu berharap bisa bekerja sama dengan jin. dan yang lebih anehnya lagi mengaku dekat dengan Jin sebagai tanda bahwa dirinya dicintai oleh Alloh

Orang menyebut jin ini pembantu manusia. Benarkah anggapan ini,,,? 
Siapa yang sejatinya dibantu, si jin ataukah manusia,,,? 
Siapa yang sejatinya lebih berkuasa dan dapat menguasai, si jin ataukah manusia,,,?

Mustahil si jin ini mau membantu secara cuma-cuma. Pasti ada batu dibalik udang. Jin ini mau membantu, karena manusia mau mengabdi kepada jin. 
Sehingga siapa yang sejatinya diuntungkan,,,? 
Apalagi ketika berhadapan dengan Jin yang mempunyai potensi serta karakter Penipu, seperti yang telah dijelaskan diatas 
Jawabannya tentu saja si Jin. 
Dia yang lebih berkuasa, sementara manusia akhirnya selalu menjadi bergantung kepada jin, dan bukan kepada Alloh Subhanahu wata'ala

Naudzubillah

Perlu diketahui sesungguhnya
Tidak Ada Manusia didunia ini yang dapat Menguasai Jin, selain Nabi Sulaiman

Allah kisahkan dalam Al-Quran, salah satu do'a Nabi Sulaiman,

قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

Nabi Sulaiman berdoa: 
“Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kekuasaan yang tidak dimiliki oleh seorangpun sesudahku, Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pemberi”. 
(QS. Shad: 35)

Salah satu diantara kekuasaan Nabi Sulaiman, yang tidak mungkin dimiliki orang lain adalah dapat mengendalikan dan menguasai jin. Sehingga semua jin menjadi tunduk dan patuh kepada Nabi Sulaiman.

Bahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak mau melangkahi Nabi Sulaiman dengan sebab Do'a yang telah dipanjatkan kepada Alloh
Suatu ketika, pada saat mengimami shalat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan gerakan yang berbeda di luar kebiasaannya. Pagi harinya, Beliau menceritakan,

إِنَّ عِفْرِيتًا مِنَ الجِنِّ تَفَلَّتَ عَلَيَّ البَارِحَةَ لِيَقْطَعَ عَلَيَّ الصَّلاَةَ، فَأَمْكَنَنِي اللَّهُ مِنْهُ، فَأَرَدْتُ أَنْ أَرْبِطَهُ إِلَى سَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي المَسْجِدِ حَتَّى تُصْبِحُوا وَتَنْظُرُوا إِلَيْهِ كُلُّكُمْ، فَذَكَرْتُ قَوْلَ أَخِي سُلَيْمَانَ: رَبِّ هَبْ لِي مُلْكًا لاَ يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِي فَرَدَّهُ خَاسِئًا

Sesungguhnya jin ifrit menampakkan diri kepadaku tadi malam, untuk mengganggu shalatku. Kemudian Allah memberikan kemampuan kepadakku untuk memegangnya. Aku ingin untuk mengikatnya di salah satu tiang masjid, sehingga pagi harinya kalian semua bisa melihatnya. Namun saya teringat doa saudaraku Sulaiman: 
“Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kekuasaan yang tidak dimiliki oleh seorangpun sesudahku.” 
Kemudian beliau melepaskan jin itu dalam keadaan terhina. 
(HR. Bukhari 461 & Muslim 541).

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau mengikat jin itu di tiang masjid, karena itu jika beliau lakukan berarti beliau telah menguasai jin, yang itu menjadi keistimewaan Sulaiman. Karena teringat do'a Nabi Sulaiman, dan akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melepaskan jin itu, padahal jika beliau mau, beliau sangat mampu melakukannya.

Oleh karena itu Dengan sebab inilah sesungguhnya Jin khodam hanyalah sebagai tipuan belaka, agar manusia Jauh dari Alloh subhanahu wta'ala, dikarenakan sesungguhnya seluruh Manusia yang ada dimuka bumi ini tidak dapat menguasai bangsa Jin untuk dijadikan Pembantu / khodam kecuali Nabi Sulaiman

Umumnya Terjadi Penyimpangan

Karena itu, yang umum terjadi pada manusia yang memiliki khodam adalah penyimpangan bukan kerja sama dengan cara baik-baik. 

Bentuk penyimpangannya, manusia melakukan pengabdian dan penghambaan kepada jin, kemudian jin membantunya untuk mewujudkan keinginan manusia. Jadilah jin bertambah sombong dan manusia bertambah hina dan bergelimang dosa karena melakukan berbagai kesyirikan atas permintaan si jin. 
Dan Inilah yang diakui oleh Jin itu sendiri, sebagaimana yang Allah ceritakan di surat Al-Jin:

وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقاً

Bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, Maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.

Dan ketika di hari kiamat, mereka dikumpulkan dan saling menyalahkan. Allah memasukkan mereka semua ke dalam neraka, karena melakukan kerja sama yang diawali dengan kesyirikan,

وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُمْ مِنَ الْإِنْسِ وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُمْ مِنَ الْإِنْسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا الَّذِي أَجَّلْتَ لَنَا قَالَ النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِينَ فِيهَا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ

Ingatlah hari di waktu Allah menghimpunkan mereka semuanya (dan Allah berfirman): “Hai golongan jin, Sesungguhnya kamu telah banyak menyesatkan manusia”, lalu berkatalah kawan-kawan meraka dari golongan manusia: “Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya sebahagian daripada Kami telah dapat kesenangan dari sebahagian (yang lain) dan Kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami”. Allah berfirman: “Neraka Itulah tempat tinggal kamu, sedang kamu kekal di dalamnya, kecuali kalau Allah menghendaki (yang lain)”. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui. 
(QS. A-An’am: 128).

Semoga Allah melindungi kita dari tipuan para musuh Allah.
Aamiin

Sumber Rujukan
https://konsultasisyariah.com/20055-mengenal-jin-khodam.html

Senin, 26 November 2018

Sahabat Nabi Dari Indonesia


Definisi sahabat sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Hajar al-‘Asqolaani (Seorang ulama besar madzhab Syafi’i) adalah : 

Orang yang bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan beriman kepadanya dan meninggal dalam keadaan beriman kepadanya pula.
Karenanya barang siapa yang setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- masih bisa bertemu dengan Nabi dalam keadaan terjaga (tidak tidur) maka ia adalah termasuk jajaran para sahabat. 

HAKIKAT AJARAN TASAWWUF SUFI


PENDAHULUAN
Istilah “sufi” atau “tasawwuf” tentu sangat dikenal di kalangan kita, terlebih lagi di kalangan masyarakat kebanyakan. Istilah ini sangat diagungkan dan selalu diidentikkan dengan kewalian, kezuhudan dan kesucian jiwa. Bahkan mayoritas masyarakat beranggapan bahwa seseorang tidak akan bisa mencapai hakikat takwa tanpa melalui jalan tasawwuf. Opini ini diperkuat dengan melihat penampilan lahir yang selalu ditampakkan oleh orang-orang yang mengaku sebagai ahli tasawwuf, berupa pakaian lusuh dan usang, biji-bijian tasbih yang selalu melekat di tangan, dan bibir yang senantiasa komat-kamit melafazhkan dzikir. Semua ini semakin menambah keyakinan bahwasanya merekalah orang-orang yang benar-benar telah mencapai derajat wali (kekasih) Allah Azza wa Jalla.

Sebelum membahas tentang hakikat tasawwuf yang sebenarnya, kami ingin mengingatkan kembali bahwa penilaian benar atau tidaknya suatu pemahaman bukan hanya dilihat dari pengakuan lisan atau penampilan lahir semata. Barometer sesuai tidaknya pemahaman tersebut, ialah menakarnya dengan Al-Qur`ân dan Sunnah menurut yang dipahami oleh Salafush-Shalih.

Imam al-Barbahâri rahimahullah mengikrarkan prinsip ini dalam kitabnya, Syarh as-Sunnah dengan ucapan beliau: “Perhatikan dan cermatilah –semoga Allah Azza wa Jalla merahmatimu- semua orang yang menyampaikan satu ucapan/pemahaman di hadapanmu, maka jangan sekali-kali engkau terburu-buru untuk membenarkan dan mengikuti ucapan/pemahaman tersebut, sampai engkau tanyakan dan meneliti kembali, apakah ucapan/pemahaman tersebut pernah disampaikan oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau pernah disampaikan oleh ulama Ahlus-Sunnah? Kalau engkau mendapatkan ucapan/pemahaman tersebut sesuai dengan pemahaman mereka Radhiyallahu ‘anhum, (maka) berpegang teguhlah engkau dengan ucapan/pemahaman tersebut, dan janganlah (sekali-kali) engkau meninggalkannya dan memilih pemahaman lain, sehingga (akibatnya) engkau akan terjerumus ke dalam neraka!”[1]

Setelah prinsip di atas jelas, sekarang kami akan membahas tentang hakikat tasawwuf, agar kita bisa melihat dan menilai dengan jelas benar atau tidaknya ajaran tasawwuf ini.

LAHIRNYA AJARAN TASHAWWUF
Tasawwuf adalah istilah yang sama sekali tidak dikenal pada zaman para sahabat Radhiyallahu ‘anhum, bahkan tidak dikenal pada zaman tiga generasi yang utama (generasi Sahabat, Tâbi’in dan Tabi’it Tâbi’in). Ajaran ini baru muncul sesudah masa tiga generasi ini.[2]

Ajaran ini, pertama kali muncul di kota Bashrah, Irak, yang dimulai dengan timbulnya sikap berlebih-lebihan dalam zuhud dan ibadah yang tidak terdapat di kota-kota (Islam) lainnya.[3]

Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah berkata dalam kitab at-Tashawwuf, al-Mansya’ wa al-Mashdar (hlm. 28): “Ketika kita mengamati lebih dalam ajaran-ajaran tasawwuf klasik maupun modern, dan ucapan-ucapan mereka yang dinukil dan diriwayatkan dalam kitab-kitab tasawwuf yang dulu maupun sekarang, kita akan melihat suatu perbedaan yang sangat jelas antara ajaran tersebut dengan ajaran Al- Qur`ân dan Sunnah. Dan sama sekali, tidak pernah kita dapati bibit dan cikal bakal ajaran tasawwuf ini dalam perjalanan sejarah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salllam dan para sahabat beliau Radhiyallahu ‘anhum yang mulia, orang-orang yang terbaik dan pilihan dari hamba-hamba Allah Azza wa Jalla. Justru sebaliknya, kita dapati ajaran tasawwuf ini diambil dan dipungut dari kependetaan model Nashrani, dari kebrahmanaan model agama Hindu, peribadatan model Yahudi, dan kezuhudan model agama Budha”.[4]

Dari keterangan yang kami nukilkan di atas, jelaslah bahwa tasawwuf adalah ajaran yang menyusup ke dalam Islam. Hal ini nampak jelas pada amalan-amalan yang dilakukan oleh orang-orang ahli tasawwuf, amalan-amalan ibadah yang asing dan jauh dari petunjuk Islam.

PRINSIP-PRINSIP DASAR AJARAN TASHAWWUF YANG MENYIMPANG DARI PETUNJUK AL-QUR`ÂN DAN AS-SUNNAH[5]
Orang-orang ahli tashawwuf –khususnya yang ada pada zaman sekarang– mempunyai prinsip dasar dan metode khusus dalam memahami dan menjalankan agama ini, yang sangat bertentangan dengan prinsip dan metode Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, dan menyimpang sangat jauh dari Al-Qur`ân dan Sunnah. Mereka membangun keyakinan dan tata cara peribadatannya berdasarkan simbol-simbol dan istilah-istilah yang mereka ciptakan sendiri, yang dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Mereka membatasi ibadah hanya pada aspek al-mahabbah (kecintaan) saja dengan mengenyampingkan aspek-aspek lainnya, seperti aspek al-khauf (rasa takut) dan ar-raja` (pengharapan), sebagaimana terlihat dalam ucapan beberapa orang ahli tashawwuf: “Aku beribadah kepada Allah Azza wa Jalla, bukan karena aku mengharapkan masuk surga, dan juga bukan karena takut masuk neraka”. (!?)

Memang benar, aspek al-mahabbah merupakan landasan ibadah. Akan tetapi, ibadah itu tidak hanya terbatas pada aspek al-mahabbah saja, seperti persepsi orang-orang ahli tashawwuf. Karena, ibadah itu memiliki banyak jenis dan aspek yang melandasinya selain aspek al-mahabbah, misalnya aspek al-khauf, ar-raja`, adz-dzull (penghinaan diri), al-khudhû` (ketundukkan), do’a, dan aspek-aspek lainnya.

Salah seorang ulama Salaf berkata: “Barang siapa yang beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dengan kecintaan semata, maka dia adalah seorang zindiq (kafir). Barang siapa yang beribadah kepada Allah l dengan pengharapan semata, maka dia adalah seorang Murji’ah. Barang siapa yang beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dengan ketakutan semata, maka dia adalah seorang Haruuriyyah (Khawarij). Dan barang siapa yang beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dengan kecintaan, ketakutan dan pengharapan, maka dialah seorang mukmin sejati dan muwah-hid (orang yang bertauhid dengan benar)”.

Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla memuji sifat para nabi dan rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sa;;a, yang mereka senantiasa berdoa kepada-Nya dengan perasaan takut dan berharap, dan mereka adalah orang-orang yang selalu mengharapkan rahmat-Nya dan takut terhadap siksaan-Nya.[6]

2. Orang-orang ahli tashawwuf, umumnya, dalam menjalankan agama dan melaksanakan ibadah tidak berpedoman kepada Al-Qur`ân dan Sunnah, tetapi, pedoman mereka adalah bisikan jiwa dan perasaan mereka, serta ajaran yang digariskan oleh pimpinan-pimpinan mereka. Konkretnya dalam bentuk tarikat-tarikat bid’ah, berbagai macam dzikir dan wirid yang mereka ciptakan sendiri. Tidak jarang pula mereka mengambil pedoman dari cerita-cerita khurafat (yang tidak jelas kebenarannya), mimpi-mimpi, bahkan hadits-hadits palsu untuk membenarkan ajaran dan keyakinan mereka.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Orang-orang ahli tashawwuf, dalam beragama dan mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, (mereka) berpegang teguh pada suatu pedoman seperti pedoman yang dipegang oleh orang-orang Nashrani. Yaitu ucapan-ucapan yang tidak jelas maknanya, dan cerita-cerita yang bersumber dari orang yang tidak dikenal kejujurannya. Kalaupun ternyata orang tersebut jujur, tetap saja dia bukan seorang (nabi/rasul) yang terjaga dari kesalahan. Maka (demikian pula yang dilakukan orang-orang ahli tashawwuf), mereka menjadikan para pemimpin dan guru-gurunya sebagai penentu/pembuat syari’at agama bagi mereka, sebagaimana orang-orang Nashrani menjadikan para pendeta dan rahib mereka sebagai penentu/pembuat syari’at agama bagi mereka”.

3. Termasuk doktrin ajaran tashawwuf, ialah keharusan berpegang teguh dengan dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang ditentukan dan diciptakan oleh guru-guru thariqat mereka. Hingga merasa cukup dengan produk dzikir-dzikir tersebut, beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla dengan selalu membacanya. Bahkan tidak jarang mereka mengklaim bahwa membaca dzikir-dzikir tersebut lebih utama daripada membaca Al-Qur`ân, dan mereka menamakannya dengan “dzikirnya orang-orang khusus”.

Adapun zikir-zikir yang tercantum dalam Al-Qur`ân dan Sunnah, mereka namakan dengan “dzikirnya orang-orang umum”. Kalimat thayyibah (lâ ilaha illallah), menurut mereka termasuk “dzikirnya orang-orang umum”. Adapun “dzikirnya orang-orang khusus” ialah melantunkan kata tunggal ( ا للة ) dengan berulang-ulang. Lebih aneh lagi, mengulang-ulang kata (Huwa/Dia), mereka sebut sebagai “dzikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus”.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahj berkata: “Barang siapa yang beranggapan bahwa kalimat (Lâ ilaha Illallah) adalah dzikirnya orang-orang umum, dan dzikirnya orang-orang khusus adalah kata tunggal ( ا للة ), serta dzikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus adalah kata ganti (Huwa/Dia), maka dia adalah orang yang sesat dan menyesatkan”.

4. Sikap ghuluw (berlebih-lebihan/ekstrim) orang-orang ahli tashawwuf terhadap orang-orang yang mereka anggap telah mencapai kedudukan ‘wali’ atau terhadap guru-guru tarikat mereka.

Pengertian wali dalam kamus mereka bertentangan dengan apa yang ditetapkan oleh Al-Qur`ân. Wali (kekasih) Allah Azza wa Jalla adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya tunduk (kepada Allah Azza wa Jalla). Dan merupakan kewajiban kita untuk mencintai, menghormati dan meneladani mereka.

Perlu ditegaskan di sini, bahwa derajat kewalian itu tidak hanya dikhususkan bagi orang-orang tertentu saja. Akan tetapi, setiap orang yang beriman dan bertakwa, maka ia adalah wali (kekasih) Allah Azza wa Jalla. Kedudukan sebagai wali Allah Azza wa Jalla juga tidak menjadikan diri seseorang terjaga dari kesalahan dan kekhilafan. Inilah makna wali dan kewalian, dan kewajiban kita terhadap mereka, menurut pemahaman Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.

Adapun makna “wali” menurut kalangan ahli tashawwuf sangat berbeda dengan pemahaman Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Orang-orang ahli tashawwuf memiliki beberapa kriteria dan pertimbangan tertentu (yang bertentangan dengan petunjuk Al-Qur`ân dan Sunnah) dalam masalah ini. Mereka menobatkan derajat kewalian hanya kepada orang-orang tertentu saja tanpa dilandasi dengan dalil syari’at yang menunjukkan kewalian orang-orang tersebut.

Bahkan, tidak jarang, mereka menobatkan derajat kewalian kepada orang yang tidak dikenal keimanan dan ketakwaannya, atau kepada orang yang dikenal mempunyai penyimpangan dalam keimanan. Seperti orang yang melakukan praktek perdukunan, sihir dan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla, melakukan hal-hal yang aneh-aneh atau di luar kebiasaan.

Kita dapat menjumpai mayoritas orang-orang ahli tashawwuf menobatkan seseorang sebagai “wali” hanya dikarenakan orang tersebut mampu menyingkap tabir dalam suatu masalah, atau orang tersebut melakukan sesuatu yang di luar kemampuan manusia. Seperti terbang di udara menuju ke Makkah atau tempat-tempat lainnya. Terkadang berjalan di atas air, ketika ada orang yang meminta pertolongan kepadanya dari tempat yang jauh atau setelah dia mati, maka orang itu melihatnya datang dan menyelesaikan keperluannya, memberitahukan tempat barang-barang yang dicuri, memberitakan hal-hal yang ghaib (tidak nampak), dan lain-lain. Padahal, kemampuan melakukan hal-hal ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa pelakunya adalah wali Allah Azza wa Jalla.

Kaum mukminin telah sepakat dan sependapat mengatakan, jika ada orang yang mampu terbang di udara atau berjalan di atas air, maka kita tidak boleh terpedaya dengan penampilan tersebut sampai kita melihat, apakah perbuatannya sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Apakah orang tersebut selalu mentaati perintah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi larangannya? Karena hal-hal yang di luar kemampuan manusia ini bisa dilakukan oleh banyak orang kafir, musyrik, ahli kitab, ataupun orang munafik. Bisa juga dilakukan oleh para pelaku bid’ah dengan bantuan setan/jin. Oleh karena itu, setiap orang yang mampu melakukan hal-hal di atas, sama sekali, tidak boleh dianggap sebagai wali Allah.[7]

Kemudian, ternyata kesesatan orang-orang ahli tashawwuf tidak sampai di sini saja. Sebab, sikap mereka yang berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam mengagungkan orang-orang yang mereka anggap sebagai “wali”, sampai-sampai mereka menganggap “para wali” tersebut memiliki sifat-sifat ketuhanan, seperti mengetahui hal-hal yang ghaib. Pada gilirannya, menjerumuskan mereka ke dalam perbuatan syirik dengan menjadikan “para wali” tersebut sebagai sesembahan selain Allah Azza wa Jalla.

5. Termasuk doktrin ajaran tashawwuf yang sesat adalah mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla dengan nyanyian, tarian, tabuhan rebana dan bertepuk tangan. Semua ini mereka anggap sebagai amalan ibadah kepada Allah Azza wa Jalla (?!).

Dr. Shâbir Thu’aimah berkata dalam kitab ash-Shûfiyyah, Mu’taqadan wa Maslakan: “Saat ini, tarian shufi modern telah dipraktekkan oleh mayoritas tarikat Shufiyyah dalam pesta-pesta perayaan ulang tahun beberapa tokoh mereka. Para pengikut thariqat berkumpul untuk mendengarkan nada-nada musik, yang terkadang didendangkan oleh lebih dari dua ratus pemain musik pria dan wanita. Sedangkan para murid senior, dalam pesta ini duduk sambil mengisap berbagai jenis rokok, dan para tokoh senior beserta para pengikutnya membacakan beberapa kisah khurafat (bohong) yang terjadi pada sang tokoh yang telah meninggal dunia…”.

6). Juga termasuk doktrin ajaran tashawwuf yang sesat, yaitu apa yang mereka namakan sebagai suatu keadaan/tingkatan, yang jika seseorang telah mencapainya, maka ia akan bebas dari kewajiban melaksanakan syariat Islam. Keyakinan ini muncul sebagai hasil dari perkembangan ajaran tashawwuf. Karena asal mula ajaran tashawwuf ialah melatih jiwa dan menundukkan watak dengan berupaya memalingkannya dari akhlak-akhlak yang jelek, dan membawanya pada akhlak-akhlak yang baik, seperti sifat zuhud, tenang, sabar, ikhlas dan jujur, menurut klaim mereka.

Tidak diragukan lagi –menurut pandangan orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang beriman– bahwa ucapan ini termasuk kekufuran yang paling besar. Bahkan ucapan ini lebih buruk dari pada ucapan orang-orang Yahudi dan Nashrani. Karena orang-orang Yahudi dan Nashrani, mereka mengimani sebagian (isi) kitab suci mereka dan mengingkari sebagian lainnya. Dan mereka itulah orang-orang kafir yang sebenarnya. Mereka juga membenarkan perintah dan larangan Allah Azza wa Jalla, meyakini janji dan ancaman-Nya. Kesimpulannya, orang-orang Yahudi dan Nashrani yang berpegang pada ajaran agama mereka yang telah dihapus (dengan datangnya agama Islam) dan telah mengalami perubahan dan rekayasa, mereka ini lebih baik (keadaannya) dibandingkan orang-orang yang menyangka bahwa mereka telah bebas dari kewajiban melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla secara keseluruhan. Karena dengan keyakinan tersebut, berarti mereka telah keluar dari ajaran semua kitab suci, semua syariat dan semua agama. Mereka, sama sekali tidak berpegang kepada perintah dan larangan Allah Azza wa Jalla. Bahkan mereka lebih buruk dari orang-orang musyrik yang masih berpegang kepada sebagian dari ajaran agama yang terdahulu, seperti orang-orang musyrik bangsa Arab yang masih berpegang dengan sebagian dari ajaran Nabi Ibrahim Alaihissalam.

Untuk membenarkan keyakinan tersebut, di antara mereka ada yang berargumentasi dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut ini:

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

“Beribadahlah kepada Rabbmu sampai datang kepadamu sesuatu yang diyakini (kematian)”. [al-Hijr/15 : 99]

Kata mereka: “Makna ayat di atas ialah, sembahlah Rabbmu sampai kamu (mencapai tingkatan) ilmu dan ma’rifat, dan jika kamu telah mencapainya maka gugurlah (kewajiban melaksanakan) ibadah atas dirimu …”.

Padahal pada hakikatnya, ayat ini justru menyanggah anggapan pandangan mereka. Dikatakan oleh Hasan al-Bashri rahimahullah : “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menjadikan bagi amalan orang-orang yang beriman batas akhir kecuali kematian,” kemudian Hasan al-Bashri rahimahullah membaca ayat di atas.

Jadi, ayat di atas sangat jelas menunjukkan kewajiban setiap orang untuk selalu beribadah sejak dia mencapai usia dewasa dan berakal, sampai ketika kematian datang menjemputnya. Dalam ajaran Islam, sama sekali tidak ada yang dinamakan dengan tingkatan/keadaan, yang jika seseorang telah mencapainya maka gugurlah kewajiban beribadah atasnya, sebagaimana persangkaan orang-orang ahli tashawwuf.

PENUTUP
Setelah pembahasan di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa ajaran tashawwuf merupakan ajaran sesat yang menyimpang, sangat jauh dari petunjuk Al-Qur`ân dan Sunnah. Dengan mengamalkan ajaran ini –na’udzu billah min dzalik– seseorang bukannya semakin dekat dengan Allah Azza wa Jalla, tetapi justru semakin jauh dari-Nya. Dan hatinya, bukan semakin bersih, akan tetapi malah semakin kotor dan penuh noda.

Kemudian, jika muncul pertanyaan: “Kalau begitu, bagaimana usaha yang harus kita lakukan untuk mensucikan jiwa dan hati kita?” Maka jawabannya, sangat sederhana, yaitu pelajari dan amalkan syari’at Islam ini lahir dan batin; dengan itulah jiwa dan hati kita akan bersih[8]. Karena di antara tugas utama yang dibawa para rasul ialah mensucikan jiwa dan hati manusia dengan mengajarkan kepada mereka syariat Allah Azza wa Jalla.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. [Ali ‘Imrân/3 ayat 164].

Maka, orang yang paling banyak memahami dan mengamalkan petunjuk Al-Qur`aan dan Sunnah dengan baik dan benar, maka dialah yang paling bersih, suci hati dan jiwanya. Dan dialah yang paling bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla. Karena semua orang berilmu sepakat mengatakan, bahwa penghalang utama yang menghalangi seorang manusia dekat dengan Allah Azza wa Jalla ialah (kekotoran) jiwanya.[9]


Oleh
Ustadz Abul Hasan Abdullah Taslim
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XII/Ramadhan1429H/2008. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Syarh as-Sunnah, Imam al-Barbahâri (hlm. 61), Tahqiq: Syaikh Khâlid ar-Raddâdi.
[2]. Lihat Haqîqat ash-Shufiyyah, hlm. 14.
[3]. Majmu’ al-Fatâwa, 11/6.
[4]. Ibid., hlm. 14.
[5]. Ringkasan dari pembahasan “Mauqif ash-Shûfiyyah min al ‘Ibâdah wa ad-Dîn”, oleh Syaikh Shâlih al-Fauzân dalam kitabnya, Haqiqat at-Tashawwuf, hlm. 17-38, dengan sedikit perubahan.
[6]. Lihat, misalnya firman Allah l dalam surat al-Anbiyâ`/21 ayat 90, dan ayat-ayat lainnya.
[7]. Majmu’ al-Fatâwa, 11/215.
[8]. Untuk lebih jelasnya, silahkan menelaah kitab Manhajul Anbiyâ` fî Tazkiyatin-Nufûs, karya Syaikh Salîm al-Hilâli, yang ditulis khusus untuk menjelaskan permasalahan penting ini.
[9]. Seperti disimpulkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya, Igatsatul-Lahafan dan al-Fawa’id.


Sumber Artikel
https://almanhaj.or.id/2567-sudah-saatnya-menyadari-hakikat-ajaran-sufi.html